Rabu, 31 Mei 2017

Semoga Pancasila tidak Berganti Nama

Benar jika dikata
Pancasila bukan burung perkutut belaka
Sebab dahulu ada sebuah burung yang melegenda
Garuda namanya

Burung itu hadir ditengah hiruk pikuk nusantara
Memertahankan sumpah palapa atau tunduk pada Belanda
Menyemai selalu rayuan pulau kelapa atau ditebas tajam samurai asia

Burung itu hadir sebagai kaca
Menyamakan mereka yang berbeda
Dibedakan oleh kulit ataupun cara bicara
Dibedakan oleh suku, adat atau agama yang dianutnya

Namun kini burung itu terasa dilupakan
Ajarannya mengenai Ketuhanan
Kita abaikan
Agama dibuat mainan hingga tempat2 ibadah digunakan untuk merancang kebohongan

Ajarannya mengenai kemanusiaan
Kita biarkan
Manusia yang mengaku manusia itu dengan teganya menyabik tubuh manusia yang sepadan
Melempari mereka dengan bom2 yang menghancurkan

Ajarannya mengenai persatuan
Kita acuhkan
Disana sini terjadi pertikaian
Mereka mencaci mengatasnamakan etnis atau suku yang mereka punya

Ajarannya mengenai musyawarah
Kita diamkan
Rakyat bicara selalu dibungkam
Mahasiswa bersuara pulang diberi amplop yang isinya lembaran2 mata uang untuk makan

Ajarannya mengenai keadilan sosial
Kita hilangkan
20 meter dari rumah kita sering melihat orang memungut sampah untuk dimakan
Sementara di istana paduka presiden makan malam dengan tamu2 bangsawan

Tak heran jika burung itu kini hilang tiba2
Dia malu bersarang di nusantara tercinta
Semoga burung itu akan pulang dikala senja
Dengan tidak berganti nama
Tetap menjadi Garuda Pancasila

01 Juni 2017, 00.34

Senin, 29 Mei 2017

Disini kau hidup

Disini kau hidup
Diantara gemerlap lampu kota
Yang selalu menertawakanmu

Disini kau hidup
Ditengah suara keramaian yang tak kau kenal
Yang begitu mesra menemanimu

Disini kau hidup
Disela perasaan acuh manusia itu
Yang mengusik jiwa manusiamu

Disini kau hidup
Diatas kekecewaan hati
Yang mengusirmu dari sebuah keyakinan

Disini kau hidup
Dengan mencari hingga kembali semua rasa cinta itu

00.31

Sabtu, 27 Mei 2017

Kebimbangan rasa

Diantara kalut aku biacara soal kabut
Pekat antara salut juga takut
Sudikah bertemu menjadi hujan
Jika angan tak lagi menjadi teman
Mungkin hanya akan hilang bersama dingin
Menyelimuti rasa yang menyimpan ingin

Juga disela prasangka yang menusuk kepala
Berharap tertancap selamanya
Atau sebatas riang
Yang melintas dihati tanpa dikenang

Namun

Akan lebih baik menjadi jeda
Ditengah hiruk kehidupan yang begitu menyiksa
Tanpa sedikitpun menyisakan duka

Jember, 28 Mei 2017

Selasa, 28 Februari 2017

SAYA DAN SEBUAH TANYA

"-GUNUNG- Siang sebuah perjuangan, malam menyisakan kemesteriusan. Liku jalan menguras nafas, puncak menimbulkan kias".

Setiap pendaki di dunia ini selalu punya alasan untuk melatarbelakangi pendakian mereka. Entah itu sebagai ekspedisi, senang-senang, ajang foto, bahkan untuk mencari jati diri. Memang benar untuk saat ini kegiatan pendakian lebih sering dilatar belakangi oleh keinginan untuk eksis semata. Kegiatan pendakian tidak sama dengan yang dulu. Dulu orang mendaki gunung sebagai keinginan mereka untuk melatih daya tahan dan mental seseorang. Namun saat ini saya tidak akan menyebutkan atau mengritik orang-orang yang mendaki gunung dengan alasan mereka yang bermacam-macam. Saya akan sedikit menulis mengenai apa latar belakang saya melakukan pendakian di beberapa gunung.

Minggu, 29 Januari 2017

CEMBURUKU

Bungaku....
Apa kabar kau hari ini ?
Dengarlah dulu disini aku sangat merindukanmu
Tapi ketika kau mekar dan lebah-lebah madu mulai menghampirimu
Aku merasakan hal yang lain
Ya... aku cemburu pada mereka
Dan ketika aku sadar
Aku juga cemburu pada air yang mengalir disekujur tubuhmu
Aku cemburu pada tanah yang selalu memberimu segala kebutuhan
Aku cemburu pada bebatuan disekitarmu yang bisa menikmati pesonamu setiap waktu
Tanpa harus terganggu urusan sekolah, sepertiku
Sampaikan salam cemburuku pada mereka
Ternyata aku hanyalah seorang pemilik yang hanya merasa bangga memilikimu

2012

Kebohongan : Sejarah yang Tidak Bisa Hilang

Sejarah dunia adalah sejarah penderitaan. Apakah tanpa penderitaan dunia tidak akan pernah lahir? (Soe Hok Gie)

Rabu, 25 Januari 2017

MAPALA itu “melahirkan” bukan “membunuh”



“Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi (kemunafikan) dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung”. (Soe Hok Gie, 1989)              

Mahasiswa Pecinta Alam atau yang lebih akrab dikenal dengan sebutan MAPALA adalah sebuah organisasi yang berorientasi pada kegiatan alam bebas dan konservasi. Organisasi ini merupakan organisasi yang cukup luas dan tersebar hampir diseluruh Universitas di Indonesia. Nama MAPALA awalnya diprakarsai oleh beberapa mahasiswa dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia pada tanggal 12 Desember 1964. Untuk menampung minat mahasiswa dalam hal lingkungan dan konservasi pada saat itu, nama MAPALA pun akhirnya mulai ada dan mulai terdengar. Pada saat itu juga selain berada dalam lingkup lingkungan, MAPALA juga aktif dalam pengawasan politik pemerintahan. Dengan turunnya Presiden Soekarno oleh demonstrasi besar yang dilakukan oleh beberapa Universitas di Jakarta dan keterlibatan beberapa anggota MAPALA Universitas Indonesia pada aksi tersebut, menjadi gambaran bahwa MAPALA di era awal kelahirannya tidak hanya beorientasi pada lingkungan, namun juga pada perjalanan politik Indonesia.
                Pada kurun waktu tahun 1969-1974 merupakan sebuah era baru dalam dunia kepecinta alaman. Era ini merupakan sebuah penanda baru perjalanan kepecinta alaman di Indonesia. Dengan disahkannya Kode Etik Pecinta Alam Indonesia pada Gladian IV di Ujung Pandang tanggal 24 Januari 1974, merupakan sebuah saat monumental aktivitas kepencinta alaman di Indonesia. Berdasarkan Kode Etik Pecinta Alam Indonesia ini, terjadilah pergeseran sikap wujud nasionalisme pada dunia kepecinta alaman. Wujud nasionalisme yang awalnya juga sebagai pengawal perjalanan pemerintahan, kini sedikit lebih fokus pada kegiatan alam, koservasi, dan mitigasi bencana. Kemudian timbul suatu kesadaran untuk menjadikan Pecinta Alam sebagai aktivitas yang beretika, humanis, pro-ekologis, patriotis, dan anti-rasial. Juga menamkan pada setiap pengikutnya sebagai manusia yang bisa berfikir kreatif, bertindak berani, dan memiliki jiwa ksatria. Dan sampai saat ini Kode Etik Pecinta Alam Indonesia tersebut masih dipegang teguh oleh para penganutnya dalam anggota MAPALA atau Organisasi Pecinta Alam lainnya.
                Dalam perkembangan di era modern saat ini, MAPALA sudah beberapa kali menunjukkan orientasi mereka dalam beberapa aksi perihal nasionalisme, konservasi alam, juga mitigasi bencana. Menjawab tantangan hidup, organisasi MAPALA dapat berperan sebagai motor penggerak yang dapat terjun langsung ke lapangan. Beberapa kegiatan mapala pada kurun waktu terakhir ini diataranya: studi yang terkait dengan lingkungan sosial, ekonomi, dan budaya pada tahun 2012 oleh MAPALA Lawalata IPB; aksi bersih Sungai oleh MAPALA se-kabupaten Jember pada peringatan Hari Bumi pada tahun 2015; dan proses pencarian serta evakuasi korban tenggelam di Sungai Bedadung oleh beberapa anggota MAPALA di Kabupaten Jember yang bekerja sama dengan BASARNAS dan BPBD pada akhir tahun 2014.
                Beberapa tahun terakhir dunia MAPALA di Indonesia berduka. Pada tanggal 17 Oktober 2015 telah meninggal dua mahasiwa peserta DIKLATSAR MAPALSA UIN Sunan Ampel Surabaya. Kedua mahasiswa tersebut meninggal karena sakit pada saat pelaksanaan DIKLATSAR. DIKLAT yang diadakan di daerah Malang tersebut terpaksa harus terhenti. Dan yang paling terbaru adalah meninggalnya tiga mahasiswa UII Yogyakarta pada pelaksaan DIKLATSAR tanggal 13-20 Januari 2017 yang berlangsung di daerah Tawangmangu-Karanganyar, Jawa Tengah atau lereng sebelah selatan Gunung Lawu. Kematian tiga calon anggota MAPALA ini diduga karena ada kekerasan fisik oleh senior-seniornya. Tragedi yang saat ini masih diproses dimuka hukum ini, menjadi cambuk dalam tubuh MAPALA. Banyak pertanyaan yang muncul dari masyarakat mengenai proses penerimaan anggota baru di MAPALA. Disela-sela pertanyaan yang menghujam tersebut, terdapat ketakutan para orang tua untuk mengizinkan anak-anaknya yang sedang atau akan mengikuti organisasi ini. Apakah MAPALA adalah organisasi yang keras? Apakah MAPALA adalah organisasi yang suka tawuran?. Mungkin pertanyaan itu yang muncul pada orang yang tidak mengetahui seperti apa organisasi ini sebenarnya.
MAPALA adalah organisasi yang membentuk manusia-manusia cerdas, berkarakter dan idealis. Tidak ada dalam sejarahnya MAPALA diajarkan untuk tawuran. Bukan perploncoan atau bahkan kekerasan yang ada dalam DIKLATSAR sebuah MAPALA. Tapi hanya penanaman ideologi dan pelatihan fisik para peserta. Untuk membentuk manuisa-manusia seperti tadi dibutuhkan mental dan kesiapan dari para calon anggotanya. Jika para calon anggota tidak siap baik secara mental maupun fisik, maka akan lebih baik pulang saja. Sedangkan untuk para aktivis MAPALA, alangkah lebih baiknya juga semakin menambah pengetahuannya, dan persiapan dalam melaksanakan segala kegiatan. Bahkan jika diperlukan, konsep DIKLAT yang menjadi tradisi selama berpuluh-puluh tahun ada direvisi atau dibenahi sehingga selaras dengan kebutuhan sosial lingkungan saat ini. MAPALA hanyalah MAPALA dengan kumpulan manusia-manusia biasa. Namun untuk menanggulangi segala resiko maka dibutuhkan faktor dari kedua sisi tersebut. Ketika faktor dari kedua sisi tersebut bisa bersinergi, maka bukan tidak mungkin akan melahirkan manusia-manusia hebat yang memiliki pendirian. MAPALA itu “melahirkan” bukan “pembunuh”.