Rabu, 25 Januari 2017

MAPALA itu “melahirkan” bukan “membunuh”



“Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi (kemunafikan) dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung”. (Soe Hok Gie, 1989)              

Mahasiswa Pecinta Alam atau yang lebih akrab dikenal dengan sebutan MAPALA adalah sebuah organisasi yang berorientasi pada kegiatan alam bebas dan konservasi. Organisasi ini merupakan organisasi yang cukup luas dan tersebar hampir diseluruh Universitas di Indonesia. Nama MAPALA awalnya diprakarsai oleh beberapa mahasiswa dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia pada tanggal 12 Desember 1964. Untuk menampung minat mahasiswa dalam hal lingkungan dan konservasi pada saat itu, nama MAPALA pun akhirnya mulai ada dan mulai terdengar. Pada saat itu juga selain berada dalam lingkup lingkungan, MAPALA juga aktif dalam pengawasan politik pemerintahan. Dengan turunnya Presiden Soekarno oleh demonstrasi besar yang dilakukan oleh beberapa Universitas di Jakarta dan keterlibatan beberapa anggota MAPALA Universitas Indonesia pada aksi tersebut, menjadi gambaran bahwa MAPALA di era awal kelahirannya tidak hanya beorientasi pada lingkungan, namun juga pada perjalanan politik Indonesia.
                Pada kurun waktu tahun 1969-1974 merupakan sebuah era baru dalam dunia kepecinta alaman. Era ini merupakan sebuah penanda baru perjalanan kepecinta alaman di Indonesia. Dengan disahkannya Kode Etik Pecinta Alam Indonesia pada Gladian IV di Ujung Pandang tanggal 24 Januari 1974, merupakan sebuah saat monumental aktivitas kepencinta alaman di Indonesia. Berdasarkan Kode Etik Pecinta Alam Indonesia ini, terjadilah pergeseran sikap wujud nasionalisme pada dunia kepecinta alaman. Wujud nasionalisme yang awalnya juga sebagai pengawal perjalanan pemerintahan, kini sedikit lebih fokus pada kegiatan alam, koservasi, dan mitigasi bencana. Kemudian timbul suatu kesadaran untuk menjadikan Pecinta Alam sebagai aktivitas yang beretika, humanis, pro-ekologis, patriotis, dan anti-rasial. Juga menamkan pada setiap pengikutnya sebagai manusia yang bisa berfikir kreatif, bertindak berani, dan memiliki jiwa ksatria. Dan sampai saat ini Kode Etik Pecinta Alam Indonesia tersebut masih dipegang teguh oleh para penganutnya dalam anggota MAPALA atau Organisasi Pecinta Alam lainnya.
                Dalam perkembangan di era modern saat ini, MAPALA sudah beberapa kali menunjukkan orientasi mereka dalam beberapa aksi perihal nasionalisme, konservasi alam, juga mitigasi bencana. Menjawab tantangan hidup, organisasi MAPALA dapat berperan sebagai motor penggerak yang dapat terjun langsung ke lapangan. Beberapa kegiatan mapala pada kurun waktu terakhir ini diataranya: studi yang terkait dengan lingkungan sosial, ekonomi, dan budaya pada tahun 2012 oleh MAPALA Lawalata IPB; aksi bersih Sungai oleh MAPALA se-kabupaten Jember pada peringatan Hari Bumi pada tahun 2015; dan proses pencarian serta evakuasi korban tenggelam di Sungai Bedadung oleh beberapa anggota MAPALA di Kabupaten Jember yang bekerja sama dengan BASARNAS dan BPBD pada akhir tahun 2014.
                Beberapa tahun terakhir dunia MAPALA di Indonesia berduka. Pada tanggal 17 Oktober 2015 telah meninggal dua mahasiwa peserta DIKLATSAR MAPALSA UIN Sunan Ampel Surabaya. Kedua mahasiswa tersebut meninggal karena sakit pada saat pelaksanaan DIKLATSAR. DIKLAT yang diadakan di daerah Malang tersebut terpaksa harus terhenti. Dan yang paling terbaru adalah meninggalnya tiga mahasiswa UII Yogyakarta pada pelaksaan DIKLATSAR tanggal 13-20 Januari 2017 yang berlangsung di daerah Tawangmangu-Karanganyar, Jawa Tengah atau lereng sebelah selatan Gunung Lawu. Kematian tiga calon anggota MAPALA ini diduga karena ada kekerasan fisik oleh senior-seniornya. Tragedi yang saat ini masih diproses dimuka hukum ini, menjadi cambuk dalam tubuh MAPALA. Banyak pertanyaan yang muncul dari masyarakat mengenai proses penerimaan anggota baru di MAPALA. Disela-sela pertanyaan yang menghujam tersebut, terdapat ketakutan para orang tua untuk mengizinkan anak-anaknya yang sedang atau akan mengikuti organisasi ini. Apakah MAPALA adalah organisasi yang keras? Apakah MAPALA adalah organisasi yang suka tawuran?. Mungkin pertanyaan itu yang muncul pada orang yang tidak mengetahui seperti apa organisasi ini sebenarnya.
MAPALA adalah organisasi yang membentuk manusia-manusia cerdas, berkarakter dan idealis. Tidak ada dalam sejarahnya MAPALA diajarkan untuk tawuran. Bukan perploncoan atau bahkan kekerasan yang ada dalam DIKLATSAR sebuah MAPALA. Tapi hanya penanaman ideologi dan pelatihan fisik para peserta. Untuk membentuk manuisa-manusia seperti tadi dibutuhkan mental dan kesiapan dari para calon anggotanya. Jika para calon anggota tidak siap baik secara mental maupun fisik, maka akan lebih baik pulang saja. Sedangkan untuk para aktivis MAPALA, alangkah lebih baiknya juga semakin menambah pengetahuannya, dan persiapan dalam melaksanakan segala kegiatan. Bahkan jika diperlukan, konsep DIKLAT yang menjadi tradisi selama berpuluh-puluh tahun ada direvisi atau dibenahi sehingga selaras dengan kebutuhan sosial lingkungan saat ini. MAPALA hanyalah MAPALA dengan kumpulan manusia-manusia biasa. Namun untuk menanggulangi segala resiko maka dibutuhkan faktor dari kedua sisi tersebut. Ketika faktor dari kedua sisi tersebut bisa bersinergi, maka bukan tidak mungkin akan melahirkan manusia-manusia hebat yang memiliki pendirian. MAPALA itu “melahirkan” bukan “pembunuh”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar