“Kami
jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah
manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh
dari hipokrisi (kemunafikan) dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai
sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya. Dan mencintai tanah air
Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari
dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan
fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung”. (Soe Hok Gie, 1989)
Mahasiswa Pecinta Alam atau yang lebih akrab dikenal dengan sebutan MAPALA adalah sebuah organisasi yang berorientasi pada kegiatan alam bebas dan konservasi. Organisasi ini merupakan organisasi yang cukup luas dan tersebar hampir diseluruh Universitas di Indonesia. Nama MAPALA awalnya diprakarsai oleh beberapa mahasiswa dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia pada tanggal 12 Desember 1964. Untuk menampung minat mahasiswa dalam hal lingkungan dan konservasi pada saat itu, nama MAPALA pun akhirnya mulai ada dan mulai terdengar. Pada saat itu juga selain berada dalam lingkup lingkungan, MAPALA juga aktif dalam pengawasan politik pemerintahan. Dengan turunnya Presiden Soekarno oleh demonstrasi besar yang dilakukan oleh beberapa Universitas di Jakarta dan keterlibatan beberapa anggota MAPALA Universitas Indonesia pada aksi tersebut, menjadi gambaran bahwa MAPALA di era awal kelahirannya tidak hanya beorientasi pada lingkungan, namun juga pada perjalanan politik Indonesia.
Pada
kurun waktu tahun 1969-1974 merupakan sebuah era baru dalam dunia kepecinta
alaman. Era ini merupakan sebuah penanda baru perjalanan kepecinta alaman di
Indonesia. Dengan disahkannya Kode Etik Pecinta Alam Indonesia pada Gladian IV
di Ujung Pandang tanggal 24 Januari 1974, merupakan sebuah saat monumental
aktivitas kepencinta alaman di Indonesia. Berdasarkan Kode Etik Pecinta Alam
Indonesia ini, terjadilah pergeseran sikap wujud nasionalisme pada dunia
kepecinta alaman. Wujud nasionalisme yang awalnya juga sebagai pengawal
perjalanan pemerintahan, kini sedikit lebih fokus pada kegiatan alam,
koservasi, dan mitigasi bencana. Kemudian timbul suatu kesadaran untuk
menjadikan Pecinta Alam sebagai aktivitas yang beretika, humanis, pro-ekologis,
patriotis, dan anti-rasial. Juga menamkan pada setiap pengikutnya sebagai
manusia yang bisa berfikir kreatif, bertindak berani, dan memiliki jiwa
ksatria. Dan sampai saat ini Kode Etik Pecinta Alam Indonesia tersebut masih
dipegang teguh oleh para penganutnya dalam anggota MAPALA atau Organisasi
Pecinta Alam lainnya.
Dalam
perkembangan di era modern saat ini, MAPALA sudah beberapa kali menunjukkan
orientasi mereka dalam beberapa aksi perihal nasionalisme, konservasi alam,
juga mitigasi bencana. Menjawab tantangan hidup, organisasi MAPALA dapat
berperan sebagai motor penggerak yang dapat terjun langsung ke lapangan.
Beberapa kegiatan mapala pada kurun waktu terakhir ini diataranya: studi yang
terkait dengan lingkungan sosial, ekonomi, dan budaya pada tahun 2012 oleh
MAPALA Lawalata IPB; aksi bersih Sungai oleh MAPALA se-kabupaten Jember pada
peringatan Hari Bumi pada tahun 2015; dan proses pencarian serta evakuasi
korban tenggelam di Sungai Bedadung oleh beberapa anggota MAPALA di Kabupaten
Jember yang bekerja sama dengan BASARNAS dan BPBD pada akhir tahun 2014.
Beberapa
tahun terakhir dunia MAPALA di Indonesia berduka. Pada tanggal 17 Oktober 2015
telah meninggal dua mahasiwa peserta DIKLATSAR MAPALSA UIN Sunan Ampel
Surabaya. Kedua mahasiswa tersebut meninggal karena sakit pada saat pelaksanaan
DIKLATSAR. DIKLAT yang diadakan di daerah Malang tersebut terpaksa harus
terhenti. Dan yang paling terbaru adalah meninggalnya tiga mahasiswa UII
Yogyakarta pada pelaksaan DIKLATSAR tanggal 13-20 Januari 2017 yang berlangsung
di daerah Tawangmangu-Karanganyar, Jawa Tengah atau lereng sebelah selatan
Gunung Lawu. Kematian tiga calon anggota MAPALA ini diduga karena ada kekerasan
fisik oleh senior-seniornya. Tragedi yang saat ini masih diproses dimuka hukum
ini, menjadi cambuk dalam tubuh MAPALA. Banyak pertanyaan yang muncul dari
masyarakat mengenai proses penerimaan anggota baru di MAPALA. Disela-sela
pertanyaan yang menghujam tersebut, terdapat ketakutan para orang tua untuk
mengizinkan anak-anaknya yang sedang atau akan mengikuti organisasi ini. Apakah
MAPALA adalah organisasi yang keras? Apakah MAPALA adalah organisasi yang suka
tawuran?. Mungkin pertanyaan itu yang muncul pada orang yang tidak mengetahui
seperti apa organisasi ini sebenarnya.
MAPALA adalah
organisasi yang membentuk manusia-manusia cerdas, berkarakter dan idealis.
Tidak ada dalam sejarahnya MAPALA diajarkan untuk tawuran. Bukan perploncoan
atau bahkan kekerasan yang ada dalam DIKLATSAR sebuah MAPALA. Tapi hanya
penanaman ideologi dan pelatihan fisik para peserta. Untuk membentuk
manuisa-manusia seperti tadi dibutuhkan mental dan kesiapan dari para calon
anggotanya. Jika para calon anggota tidak siap baik secara mental maupun fisik,
maka akan lebih baik pulang saja. Sedangkan untuk para aktivis MAPALA, alangkah
lebih baiknya juga semakin menambah pengetahuannya, dan persiapan dalam
melaksanakan segala kegiatan. Bahkan jika diperlukan, konsep DIKLAT yang
menjadi tradisi selama berpuluh-puluh tahun ada direvisi atau dibenahi sehingga
selaras dengan kebutuhan sosial lingkungan saat ini. MAPALA hanyalah MAPALA
dengan kumpulan manusia-manusia biasa. Namun untuk menanggulangi segala resiko
maka dibutuhkan faktor dari kedua sisi tersebut. Ketika faktor dari kedua sisi
tersebut bisa bersinergi, maka bukan tidak mungkin akan melahirkan
manusia-manusia hebat yang memiliki pendirian. MAPALA itu “melahirkan” bukan
“pembunuh”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar