Selasa, 28 Februari 2017

SAYA DAN SEBUAH TANYA

"-GUNUNG- Siang sebuah perjuangan, malam menyisakan kemesteriusan. Liku jalan menguras nafas, puncak menimbulkan kias".

Setiap pendaki di dunia ini selalu punya alasan untuk melatarbelakangi pendakian mereka. Entah itu sebagai ekspedisi, senang-senang, ajang foto, bahkan untuk mencari jati diri. Memang benar untuk saat ini kegiatan pendakian lebih sering dilatar belakangi oleh keinginan untuk eksis semata. Kegiatan pendakian tidak sama dengan yang dulu. Dulu orang mendaki gunung sebagai keinginan mereka untuk melatih daya tahan dan mental seseorang. Namun saat ini saya tidak akan menyebutkan atau mengritik orang-orang yang mendaki gunung dengan alasan mereka yang bermacam-macam. Saya akan sedikit menulis mengenai apa latar belakang saya melakukan pendakian di beberapa gunung.


Pendakian awal saya dimulai saat saya masih duduk dikelas 1 Sekolah Menengah Pertama. Saat itu saya diajak kakak saya yang kebetulan mahasiswa yang hobinya naik gunung. Entah apa alasan kakak saya mengajak saya naik gunung saat itu. Gunung yang saat daki adalah Gunung Ijen. Ketika itu saya masih menjadi seorang anak yang sangat manja. Seorang anak yang hidupnya hanya bergantung pada sebuah pertanyaan "bagaimana" kepada orang tuanya. Mungkin saat itu kakak saya merasa muak dengan tingkah laku saya dirumah. Dia berusaha merubah sikap saya dengan mengenalkan saya pada situasi sulit dimana pertanyaan "bagaimana" tersebut harus saya selesaikan sendiri. Kemungkinan itu yang mungkin menjadi alasan kenapa kakak saya mengajak saya naik gunung. Saat itu saya rasa mendaki gunung adalah hal yang mudah, menyenangkan. Tapi ekspekasi saya berbalik ketika di gunung saya harus menahan segala rasa tidak nyaman pada diri saya. Keadaan yang saya rasakan saat itu benar-benar menguras tenaga dan mental saya. Bahkan bisa-bisa saja keadaan saat itu bisa menguras habis nyawa saya. Waktu itulah, waktu dimana saya merasakan pendakian gunung adalah kegiatan yang hanya menguras tenaga saja.
Selang 4 tahun lamanya saya tidak melakukan kegiatan pendakian semacam itu tadi. Baru setelah saya masuk Universitas, babak baru itu dimulai. Saya mulai berkecimpung dalam dunia pendakian setelah saya bergabung dengan organisasi Mahasiswa Pecinta Alam. Disaat itulah kenyakinan saya mengenai kesia-siaan dalam pendakian, bertambah. Saya ingin mengetahui sendiri dalam diri saya kenapa begitu banyak orang yang menghabiskan waktunya, uangnya, atau tenaganya hanya untuk naik gunung. Dan pada tanggal 31 Desember 2014, setelah sekian lama saya tidak mengenal udara dingin menusuk tulang, saya melakukan pendakian kembali. Dengan seorang teman saya mendaki Gunung Semeru. Iya, dalam tim pendakian itu hanya ada 2 orang. Lagi-lagi saya tidak tahu mengapa saya pergi ke gunung tertinggi di pulau jawa tersebut. Hanya untuk merayakan pergantian tahun mungkin saat itu satu-satunya alasan saya. Juga sedikit keinginan supaya orang lain bisa menganggap saya hebat dengan menaklukkan gunung tersebut. Sebuah alasan yang sangat lumrah pada diri seorang pendaki amatiran. Kembali, dalam pergantian tersebut hanya ada rasa lelah yang dapat saya rasakan tanpa yang lainnya. Namun, muncul sebuah pertanyaan lagi dalam otak saya ketika kaki saya menginjak tanah dengan ketinggian 3676 mdpl tersebut. "Apakah ini yang dicari oleh para pendaki? sebuah pemandangan luas, sebuah perasaan tenang, dan begitu dekatnya dengat langit". Iya, disana saya menemukan sebuah keheningan yang tidak bisa saya rasakan ditempat lain. Keheningan yang seakan-akan menempatkan tubuh saya hanya berjarak beberapa jengkal dari Singgasana Tuhan. Sehingga hanya ada saya dengan Tuhan. Seluruhnya luluh, lebur, dalam sebuah kesunyian yang hanya berlangsung beberapa saat itu. Lagi-lagi sebuah pertanyaan datang tanpa memberikan kesempatan kepada pertanyaan sebelumnya untuk terjawab. Dan saya hanya turun membawa kelelahan juga pertanyaan yang menguji nalar.
Kegiatan pendakian kembali saya lakukan dibeberapa gunung di Jawa Timur. Mulai dari Gunung Argopuro, Gunung Raung, Gunung Butak, Gunung Arjuno, dan hingga pada pendakian saya yang terakhir di Gunung Lawu, saya tetap tidak menemukan jawaban atas pertanyaan saya sendiri. Apa yang diinginkan oleh kakak saya dulu belum terwujud. Saya masih belum bisa menemukan jawaban dari pertanyaan yang saya buat. "Apa alasan saya mendaki gunung? Apa latar belakang saya? Dan jika saya belum mengetahuinya, kenapa saya masih tetap melakukan kegiatan itu?". Mungkin sedari kemarin saya mendaki, salah satu hal yang melatar belakangi saya adalah mencari ketenangan. Atau mungkin bisa disebut lari dari permasalahan. Namun, apakah saat saya berfikir seperti itu semua masalah akan begitu saja hilang? Jawabannya TIDAK!. Masalah tersebut tidak akan hilang meski kematian hadir dalam pekatnya kabut lembah. Pendakian gunung bukan perjalanan seorang martir yang sudah pasti tidak akan kembali lagi. Pendakian terdengar tidak sebagai ajang bunuh diri semata. Meskipun persoalan harta, tahta, wanita sudah menyelimuti jauh sebelum tiba di pos perizinan.
Lantas selama ini saya melakukan perjalanan panjang menembus pekatnya kabut, berjalan tidak lurus kedepan, ditipu oleh gelap malam; itu semua tertuju untuk apa? Bahkan untuk siapa?. Hanya perasaan itu yang ada. Berbiacara mengenai kebosanan untuk mendaki, saya rasa jawabannya "tidak". Hanya saja ketika saya akhir-akhir ini berfikir keras tentang hal itu, saya merasa sedikit lelah. Sebab, sampai saat ini pertanyaan itu terus menghujam tanpa belas kasihan. Mungkin pilihan untuk menjawab pertanyaan itu semua adalah saya tidak boleh berhenti. Suatu saat mungkin saya terhenti tetapi bukan oleh kehendak saya, melainkan dengan kehendak Yang Maha Tega melelapkan saya dalam selimutan kabut, beralas tanah, dan bebatuan tajam sebagai ganjal kepala.

Ini bukan merupakan sebuah artikel yang berisi pengetahuan atau karya sastra yang menentramkan. Ini hanyalah tulisan mengenai kebingungan saya, dan saya tidak menuntut anda semua membacanya bahkan memberikan solusi kepada saya. Meskipun anda tetap bersikeras untuk memberikan solusi, yang ada tetap hanya sebuah pertanyaan, "Sampai puncak mana pertanyaan ini akan terjawab?".

Selasa, 28 Februari 2017
22:50

Tidak ada komentar:

Posting Komentar